Cerpen Aba Mardjani
DI Dusun Cibaresah nama Badrun kondang bukan
karena ia orang terpandang. Ia dikenal sebagai laki-laki paruh baya yang ke
mana-mana kedua bibirnya selalu berkomat-kamit melafazkan salawat nabi. Allaahumma sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad
wa’alaa aalihii waashabihii ajma’iin...
Tak ada yang tahu sejak kapan Badrun selalu bersalawat
seperti itu. Di tengah-tengah kebun, ketika tengah mencangkul untuk menanam
pohon-pohon singkong, ia bersalawat. Di jalan, ketika pergi ke suatu tempat
untuk suatu keperluan, ia bersalawat dengan kepala lebih banyak tertunduk. Pada
keramaian, ketika mengunjungi pesta perkawinan kerabat, tetangga, atau sahabat,
ia lebih suka bersalawat dibandingkan mengobrol dengan orang-orang di
sekitarnya. Karena itu, juga tak ada yang tahu berapa jumlah salawat yang
meluncur dari mulutnya setiap hari. Badrun pun tak pernah menghitung.
“Saya tidak tahu cara menghitung berapa kali saya
bersalawat karena jumlahnya juga tidak penting, yang penting ikhlasnya,”
katanya apabila ada yang bertanya.
Badrun dan istrinya tinggal tak jauh dari
sebuah mesjid tua di sudut dusun. Tiga anaknya tak lagi tinggal bersamanya
sejak menikah dan berumah tangga. Rumahnya terlalu kecil untuk ditempati lebih
banyak dari dua orang karena hanya terdapat satu kamar tidur, satu ruang tamu,
dan satu kamar mandi. Tak ada ruang khusus untuk salat.
Setiap hari dan setiap waktu Badrun melaksanakan
salat di mesjid. Ia selalu datang sebelum seseorang selesai melantunkan azan.
Ia sendiri tak pernah melantunkan azan karena ia mengaku suaranya tak bagus. Ia
juga tak pernah mau jika diminta menjadi imam karena ia bilang tak hafal
surah-surah yang harus dibaca.
Setiap hari Jumat, Badrun mendatangi masjid
jauh lebih awal untuk salat Jumat. Ia sudah berada di sudut kanan masjid
sebelum siapa pun datang. Setelah melaksanakan salat sunah tahiyatul masjid,
Badrun pun seperti biasa tertunduk serupa patung dengan mulut tak pernah henti
bersalawat. Ia baru berhenti ketika seseorang melakukan azan, lalu melaksanakan
salat sunah qobliyah Jumat dua rakaat dan kembali tertunduk melafazkan salawat.
Lalu berhenti lagi pada azan kedua dan menyimak khutbah Jumat.
Namun, ada yang berbeda pada Jumat kali ini.
Para pengurus masjid tanpa sepengetahuan Badrun yang asyik dengan salawatnya,
tengah kebingungan karena imam dan khatib Jumat tak satu pun hadir sementara
waktu untuk salat Jumat tinggal hitungan menit. Ustadz Salman, ketua masjid
yang biasanya jadi pengganti imam dan khatib yang berhalangan hadir pun tak ada
di tempat. Ustadz Salman kabarnya tengah sakit dan tak bisa meninggalkan tempat
tidurnya.
“Siapa mau menggantikan jadi imam dan khatib,”
Abdul Razak, merbot mesjid bertanya kepada Saleh, sekretaris masjid. Saleh
menggeleng. “Pak Saleh saja,” lanjut Abdul Razak.
“Tidak...tidak...jangan saya,” kata Saleh
tergeragap.
“Lalu siapa?”
Abdul Razak dan Saleh mengedarkan pandang
kepada para jamaah yang sudah berada di dalam masjid. Berharap menemukan sosok
yang kemungkinan layak menjadi badal khatib dan imam sekaligus. Namun keduanya
hanya menemukan orang-orang yang sama yang setiap Jumat datang untuk salat
sebagai makmum. Tak ada yang nampak layak didudukkan di mimbar.
“Kalau begitu...” kata Abdul Razak putus asa.
“Jangan...jangan saya...” Saleh memandang
Abdul Razak dengan wajah memelas.
“Maksud saya....Badrun saja.”
Keduanya kemudian memandang Badrun yang duduk sudut
kanan masjid dengan wajah tertunduk dan mulut terus berkomat-kamit melafazkan
salawat.
“Saya setuju. Ya, Badrun saja,” wajah Saleh
nampak semringah.
Keduanya pun melangkah mendekati Badrun. Saleh
berada di sebelah kiri Badrun dan Abdul Razak berjongkok di sebelah kanan.
Keduanya berbisik di telinga Badrun.
“Badrun, tolonglah. Kamu sekali ini jadi badal
khatib dan imam. Pengganti imam dan khatib yang hari ini tidak juga kelihatan.
Waktu salat hampir tiba. Tiga menit lagi,” bisik Saleh.
“Badrun, kamu kelihatan cocok. Kamu alim
orangnya. Tidak neko-neko. Setiap saat bersalawat. Buktikan sekali ini saja
bahwa kamu memang layak jadi imam dan khatib Jumat,” Abdul Razak menambahkan.
Sesaat kemudian terdengar azan pertama didengungkan. Keduanya duduk di kiri dan kanan Badrun hingga azan selesai.
Sesaat kemudian terdengar azan pertama didengungkan. Keduanya duduk di kiri dan kanan Badrun hingga azan selesai.
Badrun gemetar. “Tidak. Tidak. Aku tak bisa
apa-apa. Aku tak tahu apa-apa,” Badrun mengelak.
“Kamu pasti bisa, Drun. Kamu pasti bisa.”
“Tidak.”
Namun, Badrun tak bisa mengelak ketika Abdul
Razak dan Saleh sepakat memegang bahu kanan dan kiri Badrun seraya membawanya
ke mimbar Jumat begitu azan pertama selesai. Sesaat setelah berdiri di atas
mimbar, Badrun masih nampak kebingungan.
“Ucapkan salam, Drun. Salam,” kata Saleh.
Badrun yang kebingungan makin gemetar ketika
melihat semua mata jamaah Jumat memandangnya. Tanpa pikir panjang, ia kemudian
mengucapkan salam. Suaranya gemetar. Tertahan di tenggorokannya.
Bilal pun berdiri seraya melantangkan azan
kedua. Badrun duduk di atas mimbar. Seperti patung. Untuk kali pertama orang
melihat mulut Badrun tak berkomat-kamit.
Badrun memang tak tahu harus berbuat apa. Ia
tak bisa apa-apa. Kalau pun harus berkhotbah, Badrun tak tahu harus membahas
masalah apa. Ia tak hafal ayat-ayat Al-Quran sebagai pembuka khutbah. Ia tak
hafal hadits-hadits yang biasa dibawakan para khatib saat berkhotbah. Ia
berharap bilal tak segera selesai melantunkan azannya. Untuk kali pertama ia menyadari,
sangat tak mudah menjadi khatib.
Badrun masih mematung ketika bilal
menyelesaikan azan.
Saleh dan Abdul Razak yang duduk persis di
depannya bersuit kecil untuk meminta Badrun segera memulai khotbahnya. Badrun
tak menoleh. Tetap menunduk. Ia tak punya keberanian berdiri dan menyadari
begitu banyak pasang mata yang akan memandangnya.
“Badrun. Ayo cepat khotbahnya,” Saleh akhirnya
buka suara.
Ketika akhirnya Badrun berdiri, Saleh dan
Abdul Razak pun merasa lega. Namun, keduanya benar-benar terkejut ketika Badrun
mengangkat kain sarung yang dikenakannya tinggi-tinggi lalu tergopoh-gopoh
melompat turun dari atas mimbar. Tak cuma itu, Badrun juga dengan terburu-buru
keluar dari masjid.
“Hei, Badrun! Mau ke mana kamu?” Saleh berteriak.
Tangannya gagal menghentikan langkah Badrun. Ia terpaksa mengikuti Badrun untuk
mencegahnya keluar. Abdul Razak membuntuti.
Jamaah salat Jumat lain keheranan melihat ulah
Badrun. Namun, seperti mendapat komando entah dari mana dan dari siapa, mereka
pun mengejar Badrun yang dengan segera sudah berada di luar masjid. Badrun
makin cepat berlari. Para Jamaah juga berlari mengikuti Badrun dari belakang.
Masjid tua dan ringkih itu pun kosong. Tak seorang pun tersisa.
Beberapa saat kemudian, semua jamaah masjid
benar-benar terkejut mendengar suara berdebum keras dan berderak-derak di
belakang mereka. Ketika semua menoleh, mereka mendapatkan masjid sudah roboh,
serata tanah.
“Masjid roboh...masjid roboh....” teriak
mereka serempak.
“Masya Allah. Bayangkan jika kita tidak keluar
mengikuti si Badrun.”
“Ya, bayangkan.”
“Kita semua sudah jadi mayat.”
“Tubuh kita tertimbun.”
“Innalillahi wainna ilaihi roojiuun...”
“Alhamdulillah. Kita selamat berkat si
Badrun.”
“Ya, karena Badrun. Mana Badrun? Mana Badrun?”
Mereka mencari-cari Badrun. Namun yang dicari
sudah tak kelihatan batang hidungnya. Badrun bersembunyi di kamar rumahnya.
Ketakutan. Gemetar. Ia benar-benar tak ingin orang datang ke rumahnya dan
memaksanya kembali ke masjid untuk melanjutkan tugasnya sebagai khatib.
“Bilang aku tak ada di rumah jika ada yang
mencari aku,” katanya kepada istrinya.
Tanah Kusir, Juni 2016
Pengirim: